Gubuk Puisi

Kumpulan Puisi Dari Beberapa Sastrawan Indonesia

Sutardji Calzoum Bachri

La Noche De Las Palabras (El Diario De Medellin)

Di cafe jalanan Noventa Y Sieta,
Medellin, Columbia
kami mengepung bulan
dan mereka yang mendengarkan puisi kami
mencoba menaklukkan bulan dengan cara mereka
berkomplot dengan anggur daun cerbeza
bersekongkol dengan gadis gadis
memancing bulan dengan keluasan dada
Musim panas
Menjulang di Medelin
menampilkan sutera
di keharibaan malam cuaca
ratusan para lilin
menyandar di pundak malam
mengucap
menyebutnyebut cahaya
sambil mencoba
memahami takdir di wajah-wajah usia
kami para penyair
meneruskan zikir kami
palabras palabras palabras palabras

Jembatan

Sedalam-dalam sajak
takkan mampu menampung airmata bangsa.
Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi
dalam teduh pekewuh dalam isyarat
dan kisah tanpa makna.
Maka aku pun pergi
menatap pada wajah berjuta.
Wajah orang jalanan
yang berdiri satu kaki
dalam penuh sesak bis kota.
Wajah orang tergusur.
Wajah yang ditilang malang.
Wajah legam para pemulung
yang memungut remah-remah pembangunan.
Wajah yang hanya mampu
menjadi sekedar penonton etalase
indah di berbagai plaz
a. Wajah yang diam-diam menjerit
mengucap
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu!
Tapi wahai saudara satu bendera
kenapa sementara jalan-jalan
mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota,
jembatan-jembatan
tumbuh kokoh merentangi
semua sungai dan lembah
yang ada,
tapi siapakah yang akan mampu
menjembatani jurang
di antara kita?
Di lembah-lembah kusam
pada puncak tilang kersang dan otot
linu mengerang mereka
pancangkan koyak-moyak bendera hati
dipijak ketidakpedulian pada saudara.
Gerimis tak ammpu
mengucapkan kibarnya
Lalu tanpa tangis mereka menyanyi
padamu negeri airmata kami.

WS Rendra

Makna Sebuah Titipan

Sering kali aku berkata,
ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipan Nya,
bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya,
bahwa putraku hanya titipan Nya,
tetapi,
mengapa aku tak pernah bertanya,
mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?
Dan kalau bukan milikku,
apa yang harus kulakukan
untuk milik Nya ini?
Adakah aku memiliki
hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat,
ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?
Ketika diminta kembali,
kusebut itu sebagai musibah
kusebut itu sebagai ujian,
kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja
untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.
Ketika aku berdoa,
kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan,
Seolah semua derita adalah hukuman bagiku.
Seolah keadilan dan kasih Nya
harus berjalan seperti matematika :
aku rajin beribadah,
maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan
Nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang,
dan bukan Kekasih.
Kuminta Dia membalas perlakuan baikku,
dan menolak keputusanNya
yang tak sesuai keinginanku,
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan,
hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah.
ketika langit dan bumi bersatu,
bencana dan keberuntungan sama saja.
Sering kali aku berkata,
ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipan Nya,
bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya,
bahwa putraku hanya titipan Nya,
tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya,
mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?
Dan kalau bukan milikku,
apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?
Adakah aku memiliki hak
atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat,
ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?
Ketika diminta kembali,
kusebut itu sebagai musibah
kusebut itu sebagai ujian,
kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja
untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.
Ketika aku berdoa,
kuminta titipan
yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku inglebih banyak harta,
inglebih banyak mobil,
lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit, kutolak kemiski1
Seolah semua derita adalah hukuman bagiku.
Seolah keadilan dan kasih Nya
harus berjalan seperti matematika :
aku rajberibadah, maka selayaknyalah
derita menjauh dariku,
dan
Nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang,
dan bukan Kekasih.
Kuminta Dia membalas perlakuan baikku,
dan menolak keputusanNya
yang tak sesuai keinginanku,
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan,
hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah.
ketika langit dan bumi bersatu,
bencana dan keberuntungan sama saja.

Perempuan yang Tergusur

Hujan lebat turun di hulu subuh
disertai angin gemuruh
yang menerbangkan mimpi
yang lalu tersangkut di ranting pohon

Aku terjaga dan termangu
menatap rak buku-buku
mendengar hujan menghajar dinding
rumah kayuku.
Tiba-tiba pikiran mengganti mimpi
dan lalu terbayanglah wajahmu,
wahai perempupan yang tergusur!

Tanpa pilihan
ibumu mati ketika kamu bayi
dan kamu tak pernah tahu siapa ayahmu.
Kamu diasuh nenekmu yang miskin di desa.
Umur enam belas kamu dibawa ke kota
oleh sopir taxi yang mengawinimu.
Karena suka berjudi
ia menambah penghasilan sebagai germo.

Ia paksa kamu jadi primadona pelacurnya.
Bila kamu ragu dan murung,
lalu kurang setoran kamu berikan,
ia memukul kamu babak belur.
Tapi kemudian ia mati ditembak tentara
ketika ikut demontrasi politik
sebagai demonstran bayaran.

Sebagai janda yang pelacur
kamu tinggal di gubuk tepi kali
dibatas kota
Gubernur dan para anggota DPRD
menggolongkanmu sebagai tikus got
yang mengganggu peradaban.
Di dalam hukum positif tempatmu tidak ada.
Jadi kamu digusur.

Didalam hujuan lebat pagi ini
apakah kamu lagi berjalan tanpa tujuan
sambhil memeluk kantong plastik
yang berisi sisa hartamu?
Ataukah berteduh di bawah jembatan?

Impian dan usaha
bagai tata rias yang luntur oleh hujan
mengotori wajahmu.
kamu tidak merdeka.
Kamu adalah korban tenung keadaan.
Keadilan terletak
diseberang highway yang bebahaya
yang tak mungkin kamu seberangi.

Aku tak tahu cara seketika untuk membelamu.
Tetapi aku memihak kepadamu.
Dengan sajak ini
bolehkan aku menyusut keringat dingin
di jidatmu?

O,cendawan peradaban!
O, teka-teki keadilan!

Waktu berjalan satu arah saja.
Tetapi ia bukan garis lurus.
Ia penuh kelokan yang mengejutkan,
gunung dan jurang yang mengecilkan hati,
Setiap kali kamu lewati kelokan yang berbahaya
puncak penderitaan yang menyakitkan hati,
atau tiba di dasar jurang yang berlimbah lelah,
selalu kamu dapati kedudukan yang tak berubah,
ialah kedudukan kaum terhina.

Tapi aku kagum pada daya tahanmu,
pada caramu menikmati setiap kesempatan,
pada kemampuanmu berdamai dengan dunia,
pada kemampuanmu berdamai dengan diri sendiri,
dan caramu merawat selimut dengan hati-hati.

Ternyata di gurun pasir kehidupan
yang penuh bencana
semak yang berduri bisa juga berbunga.
Menyaksikan kamu tertawa
karena melihat ada kelucuan di dalam ironi,
diam-diam aku memuja kamu di hati ini.

Joko Pinurbo

Rendezvous

Kau sudah tak sabar menungguku
di halaman rumah berdinding putih itu.
Di atas bangku di bawah pohon cemara
duduk seorang wanita setengah baya
sedang suntuk membaca
dan sesekali tertawa.

Nah, perempuan itu mengangkat kaki kirinya,
kemudian menumpangkannya ke yang kanan.
Pahanya tersingkap, clap,
kau terkejap: kaususupkan
cerlap cahayamu ke celah-celah itu
dan aku cemburu.

Maka aku pun segera berderai lembut
di atas parasmu.
Aku berdebar
ketika perempuan itu melonjak girang:
"Ah, gerimis senja telah datang."
Hanya agar perempuan kita bahagia, kau dan aku rela berebut bianglala dan ingin segera melilitkannya ke tubuhnya. Sebab sesaat lagi kau sudah jadi malam dan aku hujan, dan perempuan itu tidak mencintai keduanya: ia akan cepat-cepat masuk ke rumahnya, membiarkan kita berdua menghapus jejaknya.

Mata Air

Di musim kemarau
semua sumber air di desa itu mengering.
Perempuan-perempuan legam
berbondong-bondong menggendong gentong
menuju sebuah sendang
di bawah pohon beringin di celah bebukitan.
Tawa mereka yang renyah
menggema nyaring di dinding-dinding tebing,
pecah di padang-padang gersang.

Setelah berjalan lima kilometer jauhnya,
mereka pun sampai di mataair
yang tak pernah mati itu.
Mereka ramai-ramai menuai air
membuncah-buncah,
menuai airmata yang mereka tanam
di ladang-ladang karang.

Bulan sering turun ke sendang itu,
menemani gadis kecil
yang suka mandi sendirian di situ.
Langit sangat bahagia
tapi belum ingin meneteskan airmata.
Nanti, jika musim hujan tiba,
langit akan memandikan gadis kecil itu
dengan airmatanya.

Gus Mus

Negeriku

Mana ada negeri sesubur negeriku?
sawahnya tak hanya menumbuhkan
padi, tebu, dan jagung
tapi juga pabrik, tempat rekreasi,
dan gedung
perabot-perabot orang kaya didunia
dan burung-burung indah piaraan mereka
berasal dari hutanku
ikan-ikan pilihan yang mereka santap
bermula dari lautku
emas dan perak perhiasan mereka
digali dari tambangku
air bersih yang mereka minum
bersumber dari keringatku
mana ada negeri sekaya negeriku?
majikan-majikan bangsaku
memiliki buruh-buruh mancanegara
brankas-brankas ternama di mana-mana
menyimpan harta-hartaku
negeriku menumbuhkan konglomerat
dan mengikis habis kaum melarat
rata-rata pemimpin negeriku
dan handai taulannya
terkaya di dunia
mana ada negeri semakmur negeriku
penganggur-penganggur diberi perumahan
gaji dan pensiun setiap bulan
rakyat-rakyat kecil menyumbang
negara tanpa imbalan
rampok-rampok dibri rekomendasi
dengan kop sakti instansi
maling-maling diberi konsesi
tikus dan kucing
dengan asyik berkolusi

Keluhan

Tuhan, kami sangat sibuk.
                

Mula-Mula

Mula-mula mereka beri aku nama
Lalu dengan nama itu
Mereka belenggu tangan dan kakiku